Pada
zaman dahulu kala, di Tanah melayu tersebutlah seorang nelayan tua
bernama Awang Gading.Dia tinggal seorang diri ditepi sebuah sungai yang
luas dan jernih walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu
bahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari –
harinya dihabiskan untuk mencari ikan dan mencari kayu dihutan.
Suatu
hari, Awang Gading terlihat mengail disungai. Sambil berdendang riang,
dia menunggui kailnya. Burung–burung turut berkicau menambah
kegembiraan Awang Gading. Sudah berkali–kali umpannya dimakan ikan
namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas” Air pasang telan keinsang
air surut telan keperut renggutlah ...............! biar putus jangan
rabut,” terdengar dendang Awang Gading melempar Pancingnya kembali.
Perlahan hari beranjak petang, namun tidak seekor ikan pun
diperolehnya.
“
Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini, “keluh Awang Gading.
Awang Gading bergegas membereskan peralatan Pancingnya dan berniat
pulang . tiba-tiba terdengar tanggisan bayi. Dengan perasaan agak
takut, Awang Gading mencari asal suara tersebut. Tak lama kemudian
Awang Gading melihat bayi perempuan yang mungil tergolek diatas batu.
Rupanya dia baru saja dilahirkan oleh ibunya. ‘Anak siapa gerangan?
Kasihan, ditinggal seorang diri ditepi sungai, ‘Awang Gading berucap
dalam hati. Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan
tersebut.
Malam
itu juga Awang Gading menghadap ketua kampungnya untuk memperlihatkan
bayi yang ditemukannya. “Awang, berbahagialah, karna kamu di percaya
raja penghuni sungai untuk memlihara anaknya. Rawatlah dia dengan baik,”
pesan Tetua Kampung.
Keesokan
harinya, Awang Gading mengadakan tasyakuran atas hadirnya bayi
ditengah kehidupannya. Awang mengundang seluruh tetangganya. Awang
Gading memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah. “Dayang sayang,
anakku seorang.........cepatlah besar menjadi gadis dambaan,”dendang
Awang Gading saat menimang-nimang Dayang Kumunah.
Sejak
kehadiran Dayang, Awang bertambah rajin bekerja. Awang memberikan
Kasih sayang dan perhatian yang melimpah untuk Dayang. Berbagai
pengetahuan yang dimiliki Awang ditularkannya kepada Dayang. Tak lupa
pelajaran budi pekerti juga diberikan disela-sela kesibukan Awang
bekerja. Setiap hari diajaknya Dayang mengail atau mencari kayu untuk
mengenal keindahan alam secara lebih dekat.
Waktu
terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik
dan berbudi. Dia juga rajin membantu bapaknya. Sayang, dayang kumunah
tidak pernah tertawa. Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku
Usop singgah dirumah Awang Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan
Dayang Kumunah. Tak lama kemudian Awangku Usop melamar Dayang kepada
Awang Gading
Lamaran
Awangku Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan Syarat.”Kanda
Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal
dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia.
Saya akan belajar menjadi seorang istri yag baik, tetapi jangan pernah
minta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop
menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan
mereka diadakan dengan sebuah pesta yang sangat meriah. Semua tetangga
dan kerabat kedua mempelai diundang. Aneka hidangan tersedia dengan
melimpah. Seluruh kampung turut gembira menyaksikan pasangan pengantin
itu. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang
pemuda yang sangat tampan. Sungguh serasi dipandang mata.
Awangku
Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun kebahagiaan mereka tak
berlangasung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang Gading
meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah terus Bersedih
meskipun Awangku Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya
tersebut. Untunglah, kesediahan Dayang Kumunah segera terobati dengan
kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang.
Meskipun
kini telah memilki lima orang anak, Awangku Usop merasa kebahagiaan
mereka belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang,
sejak pertama kali bertemu hingga kini Awangku Usop belum pernah melihat
istrinya tertawa. Suatu hari, anak bungsu ,mereka mulai dapat berjalan
tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya,
kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop meminta Dayang Kumunah ikut
tertawa.
Dayang
Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya dituruti
keinginan sang suami. Saat tertawa itu, tampaklah insan ikan dimulut
Dayang Kumunah yang menandakan ia keturunan ikan. Setelah itu, Dayang
segera berlari kearah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran
dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Dayang berubah menjadi ikan.
Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awngku Usup telah
mengingkari janjinya. Dia telah meminta Dayang Kumunah untuk tertawa,
suatu hal yang terlarang baginya.
Awangku
Usop segera menyadarinya kekhilafannya dan meminta maaf. Dia meminta
Dayang Kumunah kembali kerumah mereka. Namun semua telah terlambat.
Dayang telah terjun kesungai. Dia telah menjadi ikan dengan bentuk badan
cantik dan kulit mengkilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut
manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang
menyebutnya ikan patin
Sebelum
menyelam kedalam air, Dayang berpesan, “ Kanda, peliharalah anak-anak
kita dengan baik.” Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih.
Mereka berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai
keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang melayu tidak makan ikan
patin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar